Siang itu, adekku terkapar di IGD. Banyak orang lalu lalang di tempat ini. Setelah adekku berbaring disini, sudah bertambah dua pasien lainnya. Satu orang perawat cewek dengan baju biru masuk ke ruangan kami. Ia membawa seperangkat alat infus. Adekku hanya ketar-ketir saja melihatnya. Seumur hidupnya, ia belum pernah sama sekali diinfus di rumah sakit. Traumanya satu yaitu melihat darah di selang infus. Sewaktu menunggu ibuk kami yan dulunya tranfusi darah di RS, berkali-kali pula ia keluar masuk ruangan. Napasnya naik turun begitu melihat cairan merah kental digantung di infusan. Ia keluar ruangan tatkala pusing. Bahkan ia pernah pingsan gegara melihat banyak darah berceceran. Adekku lalu membuang pandangan tatkala perawat mulai memasang jarum infus. Adekku terlihat kesakitan.
Kami berdua masih di ruang IGD. Menunggu ruangan inap tersedia. Tidak beberapa lama kemudian, ruangannya tersedia. Aku mulai beberes. Tasku, sandal adekku, jaket kami ku taruh di bawah ranjang yang akan mengantarkan adekku ke bangsal. Kami mendapatkan bangsal yang kosong di lantai lima. Menaiki lift perlahan hingga sampai di bangsal. Aku mulai menurunkan barang-barang kami. Adekku yang bernama Luri pindah ke ranjang. Bangsal ini bernama Srikandi. Tepat di lantai 2 yang berisi dua pasien. Aku belum mengabari kakakku. Rencananya, ku kabari saja nanti kalau sudah pulang kerja sekitar jam limaan sore.
Tepat jam lima sore aku mengabari kakakku. Aku mengabari juga kalau paginya aku tidak bisa jaga di RS. Besok aku persiapkan barang apa saja yang akan dibawa ke RS seperti baju, kerudung, charger, air minum matang, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Seorang karyawan RS mengetuk pintu. Lantas memeriksa tensi adekku. Normal. Pasien samping mengajak kenalan aku. Ternyata ia seorang mahasiswi kebidanan yang sedang menempuh semester akhir. Ia dijadwalkan operasinya besok pagi jam sembilan. Adekku juga akan operasi tulang clavicula besok sore sekitar jam lima.
Adekku masih kesakitan dengan infusannya. Aku berulang kali menenangkan dan bilang bahwa semuanya akan baik-baik saja. Apalagi sewaktu obatnya dimasukkan ke dalam infus. Dia kembali kesakitan.
Karena aku lapar, maka aku turun ke bawah di lantai dua. Aku membeli makanan di dekat lobi karena kantinnya ternyata sudah tutup sejak pukul satu siang. Aku kembali naik ke lantai lima seorang diri di dalam lift.
Seorang karyawan laki-laki mengantarkan makan malam pasien. Adekku juga sudah lapar. Maka ku suapi sambil kucandai.
"Makan itu harus cepat." Dengan nada khas tentara yang videonya banyak tersebar di sosmed.
Adekku hanya ketawa saja.
Ada nasi, sayur sawi dengan bihun dengan kuah bening dan gurih, tahu, dan air mineral. Adekku menghabiskannya. Pukul sembilan malam, dokter kembali memeriksa adekku. Aku kembali menandatangi surat kesepakatan tindakan yang akan dilakukan besok sore yaitu transfusi darah kalau kekurangan darah dan tindakan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) yang merupakan metode fiksasi interna untuk stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan sekrup, plat, paku, dan pin logam. Rada deg-degan juga aku setelah searching mengenai orif.
Sekitar jam sepuluh malam seorang karyawati yang sepertinya perawat masuk ke ruangan kami.
"Besok mulai puasa jam sembilan ya. Kalau dilanggar, batal operasinya."
Kami hanya mengangguk saja menandakan kami sudah pengen tidur. Malam ini akan jadi malam yang panjang bagi aku dan adekku. Aku yang pastinya tidak bisa tidur nyenyak dan adekku yang keesokan harinya akan operasi untuk pertama kalinya. Kami berdua tentu saja agak cemas. Namun kami kembalikan lagi bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Setelah sekian lama tidak menulis di blog karena kesibukan magang SEO Content Writer, merawat adek, dan menjadi panitia pemilu. Sebulan yang menguras tenaga juga psikis. Namun tak apa. Inilah jalan yang harus dijalani. Kalau teman-teman ingin membaca tulisan yang tidak kalah menginspirasi yaitu jejak perjalanan seorang ibu bolehlah mampir.
Bantul, 07 Maret 2023
14:11 WIB
Meski bukan yang sakit tapi kalau nginep di rumah sakit jaga orang kok rasanya badan jadi akhirnya sakit juga ya hmmm
BalasHapusya Allah iyaaa bener bangett makanya yg nunggu kadang juga butuh support ya mba hehehe.. setuju sih
HapusIya mbak marwita, energinya seperti kesedot di rumah sakit wkwk
HapusSemoga lekas pulih adeknya, ya, Kak Tya. Saya juga waktu pertama kali opname di rumah sakit itu memang kaget sekali dengan rasanya diinfus, apalagi ketika memasukan obat car via selang infusan itu rasanya, wadidaw..
BalasHapusaamiin terimakasih kak yonal, rasanya tidak bisa digambarkan pokoknya wkwk
HapusPasti rasanya panik dan khawatir ya Kak ketika adiknya harus dirawat, apalagi sampai operasi. Karena waktu kakakku harus operasi dan cuma aku yang bisa nunggu, berasa cemas banget. Semangat selalu Kak Tya, semoga adeknya lekas pulih.
BalasHapusbener banget kak fela, cemasnya udah nggak bisa dijelaskan pokoknya wkkw
HapusBaca true story ini berasa kilas balik kalau pas zaman bapakku sering bolak balik rumah sakit. Aromanya, lobi yang sepi, heningnya, kantinnya, bahkan ruangan IGD yang dingin dan alunan monitor detak jantung berbunyi. Terekam jelas dan vibe rumah sakit yang enggak pernah bisa terlupakan.
BalasHapusSsmoga Luri bisa lekas membaik ya tulangnya, Kak. ♥️
vibes rumah sakit dimana aja keknya begitu ya kak vina huhu
Hapussemoga segera sembuh mbak, adeknya. apalagi kan nggak terbiasa dengan suasana rumah sakit. semoga cepat sembuh supaya bisa bahagia lagi, nyaman di rumah. zen
BalasHapusaamiin terimakasih atas doa dan supportnya kak
HapusSehat-sehat Mbak Tya dan keluarga. Emang benar sih, nemenin dan ngejaga orang di rumah sakit itu cukup melelahkan juga.
BalasHapusMelahkan segi fisik dan mental ya kak hihi
HapusSemoga sang adik lekas sembuh ya, Kak! Tahu betul suasana di rumah sakit seperti apa. aku juga nggak begitu nyaman meskipun jagain orang sakit
BalasHapusIya makasih kak, aamiin. Suasananya emang 'berbeda' ya kak hehe
BalasHapusLekas sembuh ya kak, adiknya. Dulu pernah pasang pen juga karena fraktur tulang paha. Duh, kalau mengingat kejadian itu..
BalasHapus