Sore
kemarin, rintik hujan menghujani Yogyakarta dan sekitarnya. Langit mendungnya
rata. Walaupun tidak terlalu deras cukup untuk terapi pijat tangan. Aku pulang
dari tempat magang pukul setengah lima sore. Dengan kondisi yang seperti ini
pasti aku tidak berani melajukan sepeda motorku kencang-kencang. Mataku yang
minus dua agak kesusahan melihat kondisi depan motor. Helm yang aku pakai
selalu aku tutup agar rintik hujan tidak kena kacamataku. Apabila kena
kacamataku pasti pemandangan aku lebih blur lagi karena kacamataku bukan tipe yang waterproof. Pemandangan yang buram ditambah silaunya lampu-lampu kendaraan di depan
semakin membuyarkan pemandangan mataku. Belum kalau ada uap air dari hasil sisa
proses pernapasan. Semakin blur lagi. Oke, aku harus pelan-pelan dan sabar di
jalanan.
Pukul
17.26 WIB aku baru sampai rumah dengan selamat. Alhamdulillah. Udah lolos berbagai
ujian di jalanan. Mana kalau hujan kendaraan di jalan nampaknya lebih banyak volumenya daripada musim kemarau. Kondisi hujan membuat aspal jadi semakin licin saja.
Sabar dan pelan-pelan di jalan adalah koentji. Sesampainya di kamar, aku
mengeluarkan laptop dari tas. Menaruhnya di atas meja. Lalu mencharge hingga penuh. Kubuka
segera hapeku. Empat pesan masuk dari adekku.
“Bulekkk.
Mantel hujanku ilangggg. Ada yang ngambil. Nggak bilang-bilang. Padahal aku
taruh di motor.”
Gubrakkkk.
Ini
anak ada-ada saja kejadian randomnya. Dulu pulang sekolah nggak pakai helm
gegara helmnya hilang di parkiran sekolah. Mana jarak rumah ke sekolah
sekitaran delapan kilometer. Antara sedih dan ngakak guling-guling. Kok bisaaa?
Aku
membalasnya kemudian.
“Pulangnya
gimana? Aku baru pulang. Besok taruh di jok motor saja. Heh ituuu mantel
hujanku yang ilangggg.”
Centang
satu. Sudah kuduga ini anak pasti paket internetnya sudah habis. Suasana sore
ini seperti udah malam saja karena langitnya yang mendung. Tidak lama kemudian
suara motor terdengar. Aku hafal. Ini suara motor orang rumah. Adekku pulang. Ia
memakai mantel hujan celana dan baju yang tidak senada. Atasnya warna dongker.
Bawahnya warna hijau tosca. Aku ngakak. Sementara itu adekku cemberut.
Bapak
dan Ibuk yang kebetulan ada di belakang juga heran. Hanya aku saja yang ngakak
di atas penderitaan adekku. Sambil bersungut-sungut adekku bercerita.
“Mantel
hujanku dipinjam anak mapala. Nggak dikembaliin ke motorku lagi. Awasss besok pokoknyaaaaa.”
Katanya sambil bersungut-sungut kesal.
“Besok
labrak.” Tangkasku sambil ketawa nggak habis-habis.
Komentar
Posting Komentar