Sekilas Cerita Sebelum ke Bukit Paralayang
Hari
Sabtu siang itu aku bertolak ke Imogiri. Salah satu kecamatan di Bantul yang
masih asri pemandangannya. Ada agenda pada siang hingga sore hari itu. Tidak
lain tidak bukan adalah rapat. Rapat kecil-kecilan karena beberapa anggota
masih ada kesibukan kerja dan beberapa lainnya sudah merantau di kota seberang.
Rapat siang itu bertema munas. Munas adalah singkatan dari musyawarah nasional.
Himpunan alumni sekolah kami akan melaksanakan munas di Bulan Maret mendatang. Semua
pengurus himpunan diundang dari korwil 1 hingga korwil 4 beserta pengurus
daerahnya.
Nah,
untuk korwil 1 yaitu wilayah jabodetabek dan Pulau Sumatera. Korwil 2
melingkupi Jawa Tengah, Jogja, dan Kalimantan. Korwil 3 membawahi daerah Jawa
Timur dan Indonesia bagian timur. Dan korwil 4 melingkupi wilayah luar negeri
Indonesia dan pusatnya ada di Abu Dhabi. Pengurus alumni ini berasal dari
angkatan senior dan junior. Sekilas dari yang kuketahui, angkatan paling senior
yang masih ikut aktif pengurus yaitu angkatan 1968. Lulus SMK tahun 1968.
Kira-kira beliau lahir pada tahun 1950 jika lulus pada umur 18 tahun. Sedangkan
angkatan termuda yang ikut kepengurusan yaitu angkatan 2018. Alumni dengan
rentang sekitar 50 tahun kalau dihitung.
Wah lama juga yak. Sekolah kami merupakan salah satu sekolah yang berdiri cukup
lama. Berdiri tahun 1947. Dua tahun setelah Indonesia merdeka. Maka tak heran
jika alumninya sudah senior-senior.
Usai
rapat atau yang lebih tepatnya disebut dengan sharing sambil makan. Bu Betta
sang tuan rumah menawarkan kepada kami. Ayo mau ke Parangtritis atau Bukit
Paralayang. Jaraknya cuma lima belas menit saja dari sini. Ku cek dengan google
maps. Benar saja hanya lima belas menit. Kalau dari rumahku jarak ke
Parangtritis ditempuh sekitar setengah jam. Lebih singkat dibandingkan saat
macet-macetan di kota saat liburan. Aku menjawab ke Bukit Paralayang saja
karena sudah sering ke Parangtritis sedangkan ke Bukit Paralayang baru sekali
saja.
Sekilas Pandang Tentang Bukit Paralayang
Walaupun
terletak di atas Pantai Parangtritis, Bukit Paralayang terletak di Desa
Giricahyo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul. Kawasan wisata ini
terletak sekitar 30 km dari Kota Yogyakarta. Tempat wisata ini terletak di
ketinggian sekitar 900 meter di atas permukaan air laut. Bukit Paralayang
menjadi salah satu tempat favorit untuk melihat sunset. Perpaduan pemandangan
pantai yang indah dipadu dengan jingganya sunset dilihat dari wilayah
perbukitan menjadikan pengunjung betah berlama-lama disini. Selain itu, Bukit
Paralayang menjadi salah satu tempat untuk menerjunkan olahraga ekstrim yaitu
paralayang. Area pendaratan paralayang
ini berada di bawahnya atau di sekitaran Pantai Parangtritis.
Perjalanan Menuju ke Bukit Paralayang
Berangkatlah
kami ke Bukit Paralayang. Cukup lima belas menit saja. Jalanan dari Imogiri ke
Bukit Paralayang memang menanjak. Secara topografi, beberapa wilayah Imogiri merupakan
dataran tinggi. Menuju Bukit Paralayang ada TPR yang dilalui. TPR adalah
singkatan dari Tempat Pemungutan
Retribusi. Cukup membayar sepuluh ribu saja per orang. Dari TPR masih melakukan
perjalanan sekitar 3-4 kilometeran untuk sampai ke Bukit Paralayang. Mendekati
Bukit Paralayang jalanan semakin menanjak. Untuk keselamatan, pengendara harus
jaga jarak dengan pengendara di depannya. Apalagi kendaraan roda empat di
depan. Sangat disarankan untuk berhati-hati melewati jalanan menanjak ini. Kemudian
ada tempat retribusi lagi. Tiap pengunjung cukup membayar lima ribu rupiah
saja. Di tempat tersebut seorang penjaga retribusi memperingatkan.
“Hati-hati ya Mbak. Jalannya
menanjak.”
Aku cuma mengangguk sambil
tersenyum. Mungkin bapaknya belum tahu kalau aku pernah sekali kesini bareng
dengan teman-teman. Usai sampai kami memarkirkan motor kami. Parkir cuma tiga
ribu rupiah saja.
Suasana di Bukit Paralayang
Usai
menaiki tangga yang cukup banyak bagi kami dan ngos-ngosan pertanda jarang
olaharaga. Kami disambut pengunjung yang sangat ramai yang sudah duduk-duduk
menikmati hamparan Pantai Parangtritis dan sekitarnya. Pengunjung kali ini
sangat ramai dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dulu, masih sangat sepi. Masih
bisa berfoto-foto sambil berdiri. Kali ini, untuk berdiri aja rasanya sangat sungkan
karena banyak yang duduk memadati kawasan ini.
Kebetulan
di Hari Sabtu akhir pekan Januari 2022 ada semacam komunitas yang turut
meramaikan Bukit Paralayang. Komunitas paralayang ini sering latihan di Bukit
Paralayang ini. Kawasan Bukit Paralayang ini menjadi titik awal penerjunan
paralayang. Jadi kita bisa melihat lebih dekat persiapannya sebelum mereka
terjun lalu terbang di udara.
Untuk sampai di atas, ada orang yang bertugas mengangkut parasut dari bawah. Aku membayangkan saja ngos-ngosan. Tapi bapaknya terlihat santai sekali seperti tidak ada beban. Kemudian parasut dibentangkan dibantu beberapa orang. Sebelumnya ada pengait yang harus dipasang di badan sang penerjun parasut. Kemudian setelah dirasa aman dan cukup, sang penerjun berlari dari atas lalu mulai terjun ke bawah. Pada awalnya, penerjun terlihat seperti jatuh ke bawah tapi beberapa detik kemudian seperti terangkat ke atas oleh angin yang artinya sukses melakukan penerjunan. Pengunjung mulai bersorak. Ada salah satu penerjun yang usil dengan melintasi wilayah tidak jauh dari atas kepala kami. Tentu saja kami yang dibawahnya mulai deg-degan. Ternyata parasutnya tidak sampai menyentuh kepala kami. Seperti sedang dikomando oleh seorang leader, kami bertepuk tangan dan bersorak sorai. Mulai lupa dengan tugas maupun tuntutan yang melelahkan jiwa dan raga.
Atlet Paralayang sedang terbang di atas Bukit Paralayang Parangtritis |
Pukul
lima sore Bu Betta meminta kami turun ke bawah untuk menikmati sunset di warung
kopi. Menikmati sunset dengan mendoan, pisang goreng, dan kentang goreng yang
mengeluarkan uap panas karena baru saja diangkat dari penggorengan. Ternyata,
menjelang Maghrib banyak pengunjung yang naik ke atas. Saat Maghrib banyak
pengunjung yang turun sehingga tangga yang sempit dipadati banyak orang.
Kira-kira sudut kemiringan tangga tersebut sebesar 45 derajat yang membuat kaki
merinding saat turun karena kemiringan yang terjal. Oh jadi ini alasan Bu Betta
mengajak kami untuk turun di bawah. Setelah sunset tenggelam, kami kemudian
pulang ke rumah masing-masing.
Sunset di Bukit Paralayang Parangtritis |
Komentar
Posting Komentar