Hari
ini hari Ahad. Grup whatsapp sudah ramai sejak pagi. Pagi ini agenda pemudi
kampung menarik uang tiap kartu keluarga minimal Rp 20.000 untuk agenda kirab
budaya desa tanggal 15 September 2019.
“Gimana pemudi? Besok pagi
ada yang nggak bisa nggak?” tanyaku saat rapat sabtu malam.
Hening.
“Berarti besok bisa semua
ya.”
Keesokan
harinya. Sebuah chat izin tiba-tiba dari pemudi yang memancing izin pemudi yang
lain. Inginku berteriak. Paradoks. Aku tanya saat rapat nggak ada yang jawab. Hmmmm
satu jam.
“Uang proposal 17an
kemarin sudah habis ya?”
“Habis pak buat lomba
sama hadiah.”
Loh
loh loh. Aku kan bendaharanya. Kenapa bukan aku yang njawab. Padahal ya
uangnya, ahsudahlahhhh. Tapi bukanlah lebih baik aku diam daripada berkata-kata
yang tidak ada faedahnya. Huhu.
Rapat
sabtu malam sebenarnya berada di minggu kedua. Sayangnya, keesokan harinya ada
agenda akbar se-desa jadinya dimajukan di minggu pertama. Rapat pemuda pemudi
bersama perwakilan bapak-bapak dan ibu-ibu.
Banyak
yang mengeluh tentang persiapan kampung menuju kirab budaya. Sebagai orang
penyusup aku tahu kondisi sebenarnya. Jangankan peserta kirab, panitianya aja
juga ngebut bak kereta api 100km/jam. Persiapan yang serba singkat. Mas wahyu
yang ngebut Sleman-Bantul ngurus administrasi sama desain pula. Fadhil yang
ngurus proposal. Mas ikhsan yang keliling sana-sini kayak kipas angin. Pokoknya
ahsudahlah. Aku ikut rapat sekali aja langsung berasa hawa ngebutnya. Denger
mereka aksi aja capek apalagi yang kerja.
Disinilah
cerita kekonyolan bermula. Pemudi sebagian menggerombol untuk meminta dana tiap
KK. Pagi hari sekitar jam sepuluhan.
“Lha Mbak pisangnya aja
belum laku. Masak dimintai dana.” sambil bersungut-sungut memandang salah
seorang pemudi.
Sang
pemudi bingung. Aku cuma melaksanakan amanah rapat tadi malam kok disewotin
sekaligus dimarah-marahin. Sudahlah. Ganti lokasi lagi.
“Kalau soal uang aja
bergerombol mintanya.”
Ya Allah sabar. Kuatkan hati
kami yang mengemban amanah rapat.
“Lha aku nggak punya uang
e.” Disodorkan wajah marah bersungut-sungut.
Ya Allah sabar, sabar.
Kemudian
kami melewati lokasi penjahit kaos. Ada sebuah kesalahpahaman antara pemuda dan
sang penyampai berita hingga terjadi ahsudahlah. Kami lewat aja pintunya ditutup
kemudian. Ahsudahlah. Jangan baper jangan baper. Tapi sebagian sudah ngomong
kasar. Ya Allah cobaan pagi hari di Ahad yang cerah ini.
Usai
ngepet eh salah. Usai menarik dana warga kami membuat hiasan berupa pom-pom. Sampai
pegel jari tangan menyerabuti rafia warna merah menjadi bagian yang halus lagi.
Untungnya sudah ada rafia putih yang sudah siap pom-pomnya. Modifikasi sedikit
selesai. Ada caping sisa ospek kampus kenamaan di Jogja juga buat kirab budaya
besok karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah sangat puanaaaasss. Penggosongan
sekejap. Berangkat cantik pulang burik. Hahahhaa.
Betapa ini akan menjadi
cerita yang akan kita tertawakan nantinya. Tentang kesakitan-kesakitan yang
tidak menjadi sakit lagi di masa yang akan datang.
Bisa nih kirab bjdaya. Di desaku belum ada. :D
BalasHapusMari adakeun mas lut :D
HapusSenang nonton acara sejenis ini 😊
BalasHapusMiskomunikasi emang bikin seru pas udah jadi masa lalu. Bisa ditertawakan. Tq kk tulisannya keren
BalasHapusPerjuangan banget ya mbak menjadi panitia itu
BalasHapusAku belum pernah ikutan 😁
BalasHapusAduh itu ngepet hahahha
BalasHapusSing sabar 😅
BalasHapusSemangat kak
Penasaran pingin tau kirab budaya kyak gimana mba :D
BalasHapusPersiapannya yang susah, apalagi kena marah..
BalasHapusSabar ..sabar...
Tapi kalu sudah lihat kirab budaya ,,,pasti senang penasaran nih..
Persiapannya yang susah, apalagi kena marah..
BalasHapusSabar ..sabar...
Tapi kalu sudah lihat kirab budaya ,,,pasti senang penasaran nih..
akan ada rindu diantara kita nantinya
BalasHapus