Edisi masih Shabrin lagi.
“Mbak Tya, lebih cepatlah naik
motornya” kata Shabrin yang ku bonceng di depan jok motor.
“Nanti kalau Mbak Tya ngebut, kamu
takut” balasku.
“Enggaklah” ucap Shabrin.
Siang itu aku menjemput Shabrin di
TK nya. Shabrin membonceng di depan. Padahal biasanya di belakangku. Sementara
itu, neneknya membonceng di belakangku. Shabrin mengenakan jaket merah lucunya untuk
mengurangi paparan angin yang mengenai tubuhnya. Demi keamanan, aku hanya
menjalankan motor di sekitar kecepatan 30km/saja. Di sepanjang jalan, Shabrin
menyanyi,
“Ila liqa, ila liqa sampai berjumpa
lagi”
“Ila liqa, ila liqa sampai berjumpa
lagi”
“Kita berjumpa karena Allah”
“Kita berpisah karena Allah”
“Ila liqa, ila liqa sampai berjumpa
lagi”
Kupikir, mood Shabrin baru bagus
karena mau nyanyi. Jarang-jarang Shabrin menyanyi di hadapanku. Emmm tapi, kalau
tidak mood, pertanyaanku tak bakal digubrisnya.
**
Hari itu
Sabtu malam pertengahan bulan Agustus. Setelah pulang dari masjid, aku bersiap
menata kertas yang akan ku bawa rapat pada malam itu. Terlebih lagi acara pekan
olahraga desa (PORDES) yang diadakan tiap tahunnya semakin mendekati hari H. Dari
perbincangan antara adek dan ibukku, ternyata Shabrin udah pamit ba’da Maghrib
ke rumahku dan posisiku tidak ada di rumah.
Shabrin ternyata ikut Umminya ke Bandung. Umminya mendapat beasiswa S2 di
Universitas Negeri daerah Bandung. Biasanya, Shabrin ikut Abinya jamaah di
masjid. Tapi untuk Sabtu itu tidak.
Jauh-jauh hari sebelum Shabrin
pergi, Shabrin pernah tak tanyain
“Brin, besok ikut Ummi ke Bandung
atau ikut Abi?”
“Ikut Abi lah” celetuknya dengan
suara khas Shabrin.
Shabrin
menjawab dengan posisi tiduran di ruang tv sambil mengemut jarinya. Padahal
kalau ketauan Ummi atau Abinya, Shabrin bakal tak berkutik lagi. Dia akan
berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengemut jari di depan Abi atau Umminya.
Kalau sama Neneknya, beuhhh langsung bebas dia wkwk.
Ketika
Umminya tugas di rumah sakit, Shabrin selalu ke rumah neneknya berjalan sendirian
walaupun ada Abinya di rumah. Ketika Abi nya ngajar bahasa Arab di rumahnya,
Shabrin memilih untuk menetap di rumah neneknya.
“Brin, mau pulang nggak” Tanya
Abinya di sela mengajar Bahasa Arab.
“Enggak, nanti aja” waktu
menunjukkan pukul 21.00 WIB.
Pas Abinya berbalik badan untuk
menutup pintu rumah neneknya, Shabrin berteriak,
“Bentar biii, bentarrr”
“Kenapa?”
“Shabrin minta di gendong”
Shabrin
kemudian menghambur ke arah Abinya. Lalu Abinya menggendong Shabrin. Shabrin
lalu tertawa terkekeh-kekeh di gendongan Abinya. Aku melihatnya ikut tertawa,
haha. Begitu selesai di gendong, Shabrin kembali lari ke karpet. Tiduran
kembali di sampingku.
“Nanti pulang sendiri ya Brin”
pesan Abinya.
“Iyaa”
Setelah Abinya melangkah pulang,
Shabrin kemudian ku goda.
“Kamu nanti nggak takut pulang
sendiran Brin ? Jalan kaki sendirian, gelap pula. Hiiiiiiiiii” Padahal jarak
rumah Shabrin dan neneknya dekat. Tapi, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00
WIB.
“Berani lahhh” jawab Shabrin sambil
mengemut jarinya.
“Biiiii, Shabrin masih ngemut jari
lho” godaku. Namun, Shabrin masih terdiam sambil melihat kartunnya tanpa
mempedulikan godaanku.
Aku kembali menggodanya,
“Biii, Shabrin masih ngemut jari
lho” ucapku setengah teriak,
Tanpa ba bi bu Shabrin melemparku
dengan mainannya dan berhasil mendarat di badanku.
“Mbak Tyaaaa, ihh” ungkap kekesalan
Shabrin.
“Yes berhasil” tawaku cekikikan.
**
Jam
menunjukkan pukul 06.15. Adikku sudah lebih dari lima belas menit memakai kamar
mandi. Padahal, aku juga mau pergi. Aku langsung meluncur pakai sepeda ke rumah
budheku, mengungsi mandi. Selesai mandi, aku kaget. Pagi-pagi Shabrin udah
nongol di ruang tv dengan posisi eksotisnya, yakni mengemut jari sambil
menonton kartun kesayangan.
“Brin” panggilku,
Shabrin menoleh,
“Loh kok pagi-pagi udah disini
Brin”
Shabrin diam saja. Kemudian kucium
pipinya.
“Kamu belum mandi yaa. Emm kecut”
Shabrin tertawa kemudian.
Tertangkap basah belum mandi langsung kabur dari rumah.
“Ummi mana Brin?”
“Di rumah”
Aku sendiri
geleng-geleng. Shabrin bahkan betah di rumah neneknya walaupun ada Abi dan Umminya
di rumah. Pernah juga tidur di rumah neneknya dan digendong pulang sama Umminya
saat terlelap. Pagi-pagi sekali, berjalan sendirian ke rumah neneknya tanpa
sepengetahuan Umminya. Ckckck.
Sekarang,
Shabrin udah ada di Bandung. Tak ada lagi yang menyuruhku main perang-perangan
dengannya. Aku pakai satu bantal kemudian dia memakai banyak guling. Tak ada
lagi yang menarik-narik kerudungku hingga kacamata dan kerudung terlepas karena
aku menyembunyikan celana andalannya. Tak ada lagi yang menjelajahi galeri foto
di hapeku. Tak ada lagi yang minta video boomerang lagi. Atau melipatkan kertas
nya untuk dijadikan kapal-kapalan.
Sekelebat terlintas kata di kepala,
“Kita berjumpa karena Allah”
“Kita berpisah karena Allah”
Semoga segera beretemu lagi dengan Shabrin :)
BalasHapusHihi aamiin kak, sekarang Shabrin udah pulang dari Bandung..
BalasHapus