Hari
itu hari Ahad. Tepatnya tanggal 15 Januari 2016. Yap, hari yang paling gabut
sedunia. Hari dimana gravitasi kasur lebih kuat dari berat badan sendiri :D
Grup whatsapp sudah ramai sejak jam lima pagi. Sementara hujan rintik rintik
perlahan membasahi bumi. Syahdu, untuk balik ke tempat tidur lagi.
Jam
setengah enam pagi aku langsung menyambar handuk lalu mandi secepat mungkin.
Ini benar-benar rekor atas pencapaianku sendiri. Mandi di hari libur sepagi ini
hahaha. Memakai kaos karang taruna, celana training, sepatu olahraga lalu
gassspol menuju lapangan Tamantirto. Yaelah, lapangan yang Cuma selemparan bola
masih pakai motor. Iya, yang ngelempar manusia raksasa.
Sampai
lapangan, instruktur udah nangkring di panggung. Aku dengan santainya
melenggang naik motor di depan ketua karang taruna. Maafkeun telat. Senam kali
ini berbeda. Stand sponsor turut memeriahkan senam. Juga doorprise lain yang
lebih menggiurkan. Gratis pula.
Senam
dimulai.
“Mbak
ayo senam” Ajak seorang pemudi.
“Emmm”
aku berfikir. Ahad pagi gini udah mandi lalu senam. Yaelahhh.
“Ayoolah”
“Yaudah
deh,, yok”
Bersiap
di barisan belakang sendiri lalu mengikuti gerakan sang instruktur. Awalnya
pemanasan. Bisalah kita mengikuti. Gerakannya santai enggak terlalu ekstrim.
Lalu, temponya dipercepat. Sesekali eh enggak deh, seringkali aku berhenti.
Enggak bisa mengikuti. Payah! Karena capek, aku udahan senamnya. Menuju kursi
bersama karang taruna lainnya. Ganti status menjadi jukir. Juru parkir.
Senam
kelar. Karang taruna merapat untuk koordinasi. Yuhuu ada sate lontong. Rezeki
anak sholih sholihah haha. Makan dulu dilanjut koordinasi. Alhamdulillah
kenyang. Dari rumah belum sarapan.
“Bla
bla bla bla”
Aku
Cuma mengangguk tak paham.
Lalu,
“bla bla bla”
Aku
kembali mengangguk.
Bersalam-salaman
lalu cuss bukan ke rumah. Mampir warung soto. Kali ini agenda bulanan kita.
Karang taruna sub unit desa. Yakni karang taruna yang anggotanya satu
pedukuhan.
“Mas,
aku nggak usah dipesenin”
Lalu
kami berenam dan aku perempuan sendiri karena satu anggota perempuan lainnya
tidak berangkat duduk lesehan di tikar. Dan jeng jeng jeng. Terhidang enam
mangkuk soto.
“Weh
apaan?”
“Pokoknya
habisin lho”
“Kan
aku udah bilang tadi. Nggak udah dipesenin!”
“Pokoknya
habisin”
“Gilaa”
batinku.
Sementara
itu mas rusli menghabiskan sotonya. Sampai kuah kuahnya pula. Padahal tadi udah
makan sate satu setengah porsi belum cappuccino, oreo, pisang goreng lagi.
Lalu, minuman datang. Empat gelas es teh dan 2 gelas jeruk panas. Aku mengambil
jeruk panas.
“Selerane wong tua”
“Yeeee. Aku raiso nganggo es yoo”
Kalian
yang nggak bisa minum es pasti merasakan hal yang sama. Dibilang seleranya
kayak orang tua. Kan ngeselin. Sementara itu Fadhil juga tidak kuat
menghabiskan minumnya. Aku apalagi. Pulang, dengan kondisi ngegas motor dan
perut kekenyangan. Belum pernah aku merasakan sepenuh ini perutku.
“Lah,
mas ikhsan tadi mau kemana mas? Ngacir pakai motor”
“Ow,
ngurus masa depan”
“Apaan?”
“Yo
pokoknya masa depan”
“Masa
depan? Kompleks e?”
“Ya
pokoknya masa depan”
“Ambigu
kalian”
Yogyakarta,
5 Februari 2017
11:
43 WIB
Komentar
Posting Komentar