“Tanah air
pusakaaaaa”
“Indonesia
tercintaaaaa”
“Syukur aku
sembahkan kehadiratMu Tuhaannnn”
***
Ahad pagi itu
mendung. Bermalas-malasan di atas ranjang mungkin itu kegiatan terbaik yang
terlintas di benak kami.
“Hoammm” Mbak
Lisa menutup mulutnya dengan tangannya.
Sementara
itu, aku terduduk tak bersemangat. Juga teman-teman lainnya.
“Lagune marai ngantuk yo?”
“He.em mbak”
Setengah
berlari dengan males-malesan aku menuju VCD player, kuganti theme song pagi itu dengan lagu Hari
Merdeka.
“Mer deeee
kaaa. Sekali merdeka tetap merdekaaa. Selama hayat masih di kandung badan. Kita
tetappp. . . .”
“Nah, ngene kan semangat” ucapku.
“Cek cek” aku
mengetes sebuah mic.
“Loh, kok ra ana suarane?”
“Cek cek” aku
mengetes satu mic yang lainnya.
Aku memeriksa
kabel-kabel yang tertancap di sebuah alat berbentuk balok itu. Aku mendesis.
Ternyata belum disambungkan. Huft.
“Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakaatuh. Pengumuman. Pengumuman ditujukan kepada seluruh
anak-anak dan juga pemuda-pemudi, diharapkan segera berkumpul di lapangan.
Terimakasih. Wa'alaikumussalaam Warahmatullaahi Wabarakaatuh”
Satu menit,
lima menit, tidak ada tanda-tanda kehidupan di desaku. Sepi. Terkecuali
beberapa orang disini. Panitia lomba tujuh belasan.
“Btw, do nangendi sih ki cah-cahe?”
Tanyaku kemudian.
“Embuh
ki, do durung adus paling?”
“Do
durung tangi kayake”
“Whatssss
rung tangii?”
Lima menit
menuju jam delapan pagi. Aku segera bertindak. Lagu wajib segera kukecilkan.
Volume suara mic kubesarkan maksimal.
“Monggo kepada
adik-adik dan juga pemuda-pemudi diharapkan segera berkumpul di lapangan.
Pendaftaran lomba sudah di buka yaa. Adik-adik dapat mendaftarkan diri di Mbak
Lisa ataupun Mbak Tya. Ayo ayo, pendaftaran tidak dipungut biaya alias gratis
tisss”
Lapangan
benar-benar sepi, tak ada tanda-tanda akan ada lomba tujuh belasan.
“Wah patangngatus ewu bakalan melayang nih”
Kutangkap isyarat kekecewaan panitia.
Beberapa
menit kemudian,
Suara gedebuk
semakin mendekati telinga kami. Belasan anak kecil terlihat berlarian menuju
arahku juga mbak Lisa.
“Mbak, aku
ndaftar”
“Aku yo
ndaftar mbak”
“Jenengku sik
pokokmen”
“Aku melu
kabeh lomba Mbak”
Belasan
anak-anak mulai mengerubungi tempat pendaftaran. Mereka satu sama lain tak mau
mengalah. Bak lalat mengerubungi bangkai.
“Piye caraku,
ampuh to? hehe” aku menggoda Nia.
***
“Satu, dua,
tigaaaa” Aku memberi aba-aba kepada peserta.
Kali ini, aku
bertugas sebagai pencatatan pendaftaran lomba, membagi tim, dan juga
komentator. Dimana-mana kalau lomba tujuh belasan yang paling berisik adalah
komentator lomba. Memanggil nama, mengumumkan juara, dan juga berkomentar yang
tak henti-hentinya dari mulut sang komentator. Komentatorlah yang akan
menentukan meriahnya lomba itu sendiri. Satu RT nggak bakalan meriah kalau tak
ada komentator dengan suara yang menabrak kaidah bahasa juga kocaknya. Masak lomba tujuh belasan sepi nyenyet? Kan nggak lucu. Aku tak sendirian sebagai komentator,
dibantu mbak Lisa yang akan mengemban tugas mulia kali ini. Yakni membuat bibir
pegal berjam-jam.
“Ayo ayo
ayooo”
Riuh tepuk
tangan, sorak-sorai, dan juga gedebuk kaki jadi satu.
“Ayoo dek,
pindahkan dulu benderanya” komen Mbak Lisa.
Tiga peserta
anak laki-laki yang masih SD itu bolak balik mengambil bendera yang ditancapkan
pada bonggol pisang kemudian ditancapkan lagi kedalam bonggol pisang yang
lainnya yang berjarak enam meter. Tiga bendera selesai diambil, lalu mereka
menuju meja dengan posisi tangan dibelakang tubuh, seperti di borgol.
“Diantara cah telu iki, wes ketok ki mbak sek
menang babak iki”
“Loh kok bisa?” tanya Mbak lisa.
“Didelok saka postur awakke mbak, jelas wes
ketok ki sek menang” balasku.
Memang,
diantara tiga peserta ini ada satu peserta yang memiliki tubuh tambun. Soal
makanan jangan tanya. Was wus was wus menyikat habis hidangan yang tersedia. Pokokmen, nyenengke, wekekekkek.
“Hahahaaaahaha”
Anak-anak
peserta lomba tertawa bersamaan,
Peserta
langsung melibas kue bolu kukus yang ada di piring tanpa basa-basi, apalagi
tengok kanan kiri. Prinsip mereka adalah ambil pakai mulut lalu telan secepat
mungkin. Mengunyah? Itu hal yang kurang penting bagi mereka.
Tap tap tap.
Bolu kukus itu ludes sekali libas. Mereka tak peduli lagi. Apalagi cumq tertawaan lawan peserta yang
belum lomba. Saat itu, tak hanya komentator yang berulah. Panitia jail, tanpa
ampun mengoleskan begitu banyak krim akan menghias wajah mereka menjadi tak
berbentuk wajah manusia.
Komentar
Posting Komentar