Semenjak tadi, dari awal ceramah sampai mau
ditutup pengajiannya, tiga anak-anak ini rame. Dari mulai cekikikan nggak jelas
sampai ketawa yang suaranya agak dan bener-bener banter. Lalu, ibu-ibu sebelah menatap tajam yang kelihatannya
terganggu dengan kelakuan tiga anak ini. Ya, sebenarnya bukan kelihatannya terganggu tapi,
ya memang bener-bener terganggu. Aku yang merasa tertua diantara kumpulan anak-anak
ini segera bertindak. Tapi, paling pol mentok ya cuma bilang ‘ssssttt’.
“Mbak, mau nang
mburimu ana kembang ra?” Kembang
yang dimaksud adalah bunga kamboja.
“Hahh?” Aku
langsung menoleh kebelakang dari tempat dudukku.
“Nah, kuwi ana
nang cerak sandal” Aku menunjuk
bunga kamboja putih yang berjarak satu meteran di belakangku.
Lalu, mereka bertiga yakni adikku dan dua orang kakak
adik berkacamata dengan muka mirip, seperti aku dan adikku ngakak banter sambil bilang ‘hiii’ ketakutan, tanpa
rasa bersalah. Begitu mereka melihatku menatap mereka tanpa ekspresi, mereka
langsung menahan tawa. Diam sejenak, kemudian berulah lagi.
***
Setelah sampai rumah, barulah adikku cerita
panjang lebar, tapi nggak pakai tinggi. Jadi, si kakak beradik yang masih ada
hubungan darah dengan pihak ayahku itu bisa melihat makhluk tak kasat mata
tapi, cuma adiknya yang bisa. Mbaknya nggak bisa. Nah, adiknya itu namanya
Sekar. Sekar ini cerita sama adikku dan kakaknya kalau ada dua makhluk yang
mengawal Sekar. Dua makhluk, katanya sih mukanya Asia Timur, Tionghoa gitu.
Mbaknya Sekar, si Putri, langsung bergidik. Sembari ketawa, menyuruh ‘pengawal’
Sekar pergi. Malahan, Sekar ngomong kalau ‘pengawal’nya itu pas dibelakang
kakaknya. Begitu denger si Sekar, kakaknya malah ketakutan. Nyuruh Sekar buat
ngusir sementara dua makhluk itu.
Akhirnya, ‘pengawal’nya Sekar pergi karena
diperintah oleh Sekar lalu kembali lagi berada diantara tempat duduk kami.
Adikku terus berbicara. Nah, oleh-oleh dari ‘pengawal’nya Sekar dari bepergian
yang sebentar tadi adalah bunga kamboja tadi. Dari kuburan sebelah, yang
jaraknya cuma seratusan meter. Jadi bergidik deh. Jadi keinget perkataannya
Sekar tadi,
“Mau ra ana to
mbak? Saiki ana toh” Lalu, dengan muka tak berpenasaran aku menjawab,
“Lahh? Emang mau
ana ra sih? Kayake wes ana deh. Eh ra ngerti ndeng, aku ra nggatekne kembange”
***
Masih dengan hawa-hawa merinding aku menulis cerita ini.
Eh, kenapa sekarang aku mencium bau bunga
kamboja disini ya? !@#$%^&*
Jumat,
2 Februari 2016
Menjelang
Hari Sabtu,
Komentar
Posting Komentar