Tuntas sudah tugas
pertamaku. Kali itu aku mendapat tugas lagi yaitu menjaga nyala api. Ibukku
biasanya memakai kayu bakar untuk mematangkan ketupat. Karena empat jam
lamanya, sehingga lebih hemat memakai kayu bakar. Begitulah.
Aku sibuk memasukkan kayu
bakar ke dalam keren. Menambah air
ketika setengahnya menguap kemudian. Asap hasil pembakaran membuat perih
mataku. Tak tanggung-tanggung mengalir agak deras seperti menangis. Di belakang
rumah persis dapur sementara dibuat. Di tempat terbuka. Di tempat inilah karbon
akan bebas beterbangan bersama udara. Walaupun dibelakang rumah, aku tetap
leluasa mengamati tiap orang yang lewat di jalan seberang rumah. Lalu lalang
orang tampak melewati jalan, dari arah utara ke selatan ataupun sebaliknya.
Deru motor milik Pakdheku
terdengar dari arah selatan. Lalu membelokkan ke kiri menuju halaman rumahku.
Pakdheku tidak sendirian. Ada anak kecil berumur 2,5 tahun tampak takzim duduk
di bagian ujung depan sedel motor. Rambutnya lurus sebahu. Memakai rok berwarna
hijau muda selutut. Nampaknya, ia bosan dirumahnya. Ia bernama Shabrin (baca:
Shobrin).
Shabrin ini adalah cucu
dari (alm) Pakdheku yang pertama. Nah, pakdheku yang bersama Shobrin ini adalah
Pakdheku yang keempat. Karena rumah Shabrin dan pakdheku yang keempat
berdekatan, Shabrin selalu mengunjungi rumah Pakdheku.
Mesin motor di matikan
ketika motor tepat lima meter di depanku. Kulihat wajah Shabrin. Shabrin tampak
murung. Begitu kudekati ada raut wajah belum akrab denganku. Karena, jarang aku
keluar rumah. Apalagi ke rumah Shabrin.
“Ya, Shabrin dijak
tumbas ager-ager karo sutak” Kata Pakdheku dengan Bahasa Jawa. Ager-ager
yang berarti agar-agar dan sutak adalah singkatan dari susu kotak. Yap, susu
produksi pabrik yang dikemas wadah berbentuk kotak siap minum.
Pakdheku lalu memberiku uang selembar lima puluh ribu
rupiah.
“Engko Shabrin
wes ngerti kok Ya, ager-ager karo sutake” Pakdheku ini memang tahu apa yang
kubingungkan. Tanpa kutanyakan terlebih dahulu.
Kemudian aku menggendong
Shabrin menuju minimarket dekat rumah. Selama di perjalanan Shabrin hanya diam.
Dari arah belakang, aku disusul adikku. Belum jauh berjalan dari rumahku,
Shabrin semakin lama semakin berat saja. Duh, tanganku pegal semua. Apalagi
pundakku. Seketika itu aku teringat ibukku. Betapa sabar dan kuatnya beliau
menggendongku selama bertahun-tahun. Lelah tak dirasa, pegal tak mengapa.
Apalagi saat itu aku kelas tiga SD. Aku terserang gejala Demam Berdarah dan
harus rawat inap di rumah sakit selama lima hari. Bisa dibayangkan berat
tubuhku saat itu berkali lipat daripada berat tubuh Shabrin. Setelah dipasang
infus di tangan kananku, pasien harus segera menuju kamar. Aku benar-benar takut
memakai kursi roda. Aku menjerit ketakutan dengan suara tak karuan saat perawat
mengangkat tubuhku untuk dinaikkan kursi roda. Akhirnya ibuku memilih menggendongku
ke lantai atas. Aku tak membayangkan, pegalnya pundak ibukku saat itu. “Kasih
Ibu kepada Beta tak terhingga sepanjang masa”. Memang benar adanya.
Akhirnya kami tiba
minimarket yang berjarak 150 meter dari rumahku. Begitu sampai di depan
minimarket, ku turunkan Shabrin dari gendonganku.
Yogyakarta,
10 Ramadhan 1436 H/
27 Juni 2015
Komentar
Posting Komentar