Aku mulai gemar
membaca buku sejak kelas tujuh. Yup, saat awal-awal masuk di bangku putih biru.
Dari novel, non fiksi, cerita rakyat semua kulalap habis. Setiap hari, wajib
satu buku yang habis kubaca. Dari yang tipis hingga yang tebal. Setebal kamus.
Cukup memuaskan untuk melempari kepala orang yang benar-benar menyebalkan. Aku
benar-benar haus aksara saat itu.
Ada pengalaman geli sekaligus kesal
saat itu. Nah, aku dan teman sebangkuku yang juga teman SD ku, Ayuk meminjam
buku perpustakaan. Tak tanggung-tanggung, kami meminjam dua buah buku. Urusan
dibaca atau tidaknya itu nanti. Jelas, saat ini aku lupa judul buku yang aku
pinjam. Saat ulangan akhir semester, perpustakaan terlalu sering tutup. Wajah
kekecewaan tak pernah absen setelah menengok Perpustakaan. Padahal tenggang waktu
peminjaman hampir habis. Hampir setiap hari, aku tak pernah absen untuk
menengok perpustakaan. Memastikan pintunya terbuka saja. Waktu terus berjalan
hingga tenggang waktu peminjaman habis. Aku dan Ayuk hanya santai saja
menyikapinya.
Saat itu, masa-masa remidi. Namun,
aku terbebas dari semua remidi. Aku ingat. Buku perpustakaan masih di dalam
tasku. Tak pernah ku keluarkan dari tasku.
“Dalam sini panas
apek pula. Aku nggak betah” Mungkin kalau buku bisa berbicara akan seperti itu.
Teraniaya di ruang yang sempit nan gelap.
Dengan jalan santai
khas event jalan sehat dan muka tak berdosa, kami menghampiri perpustakaan.
Iyap, guru seni rupaku yang sedangbertugas. Memasuki perpustakaan, tak
terdeteksi aroma sial saat itu. Suasana biasa saja.
“Bu, saya mau
mengembalikan buku”
“Namanya?”
“Setya dan Sekar Bu”
“Telat mengembalikan
buku ya?”
“Iya Bu”
Sejurus kemudian
kulihat Bu Yayuk, guru seni rupaku menghitung kalender. Lalu dengan
berkomat-kamit sambil berfikir menatapku agak tajam. Aku jadi takut saat itu.
“Dendanya
masing-masing anak dua ribu ya,”
Ggggllllleeeekkk.
Kedengarannya seperti kilat yang menyambar di siang bolong. Aku kaget. Kemudian
bertatapan dengan Sekar atau yang lebih sering dipanggil Ayuk dengan wajah
kelu. Dengan gaya stay cool,
pelan-pelan ku keluarkan selembar uang dua ribu dari saku rok krem. Seakan tak
rela, uang sakuku satu-satunya yang masih tersisa begitu cepat raib. Tanpa
meninggalkan jejak apapun di perut. Mengingat saat itu adalah jam istirahat.
Keluar dari
perpustakaan kami masih stay cool. Berjalan
sewajarnya orang berjalan. Ngobrol sewajarnya tanpa perlu berteriak-teriak
kesetanan karena nilai ujian do re mi. Begitu sampai di parkir belakang kelas
sembilan. Tirai kejujuran terbuka.
“Lah salahe perpustakaan e ra buka ket
wingi-wingi kok” dan masih buanyak omelan kami yang belum tersampaikan.
Hanya didengar oleh rentetan sepeda, tiang, kami berdua, dan tentunya Yang Maha
Mendengar.
Sejak saat itu, kami
kapok. Benar-benar kapok. Kami melampiaskan kekapokkan kami dengan vakum. Vakum
mengunjungi perpustakaan. Entah sampai kapan.
Beberapa hari
kemudian,
“Set, ayo ke
Perpustakaan” Temanku mengajakku.
Yogyakarta,
5 Ramadhan 1436 H/
22 Juni 2015
22.20 WIB
Komentar
Posting Komentar