Aku
berdiri seorang diri di ruang tamu. Menghadap ke timur di balik kaca. Entah,
apa yang membuatku berlama-lama disini. Hingga sepenggalah matahari, aku pun
tak menggeser posisi. Berharap menemukanmu diantara celah sinar.
Seorang remaja, mengenakan helm hitam menatapku beberapa
detik. Aku pun tak sengaja melihatnya. Kami saling beradu pandang. Mungkin,
kaca rumahku tak terlalu tembus pandang terlihat dari luar. Hingga ia
membutuhkan waktu untuk melihat seseorang berdiri dibaliknya.
Rasa-rasanya tak asing dengan wajahnya. Juga cara
menatapnya. Tapi, aku tak ingat apapun. Alisku hampir menyatu. Mataku menatap
langit-langit rumah. Seakan-akan otakku mencari sebuah berkas. Nama kamu. Iya,
aku mencarinya.
Pandanganku terus mengikuti bahunya hingga tersisa
bayangannya saja. Deru motor masih terdengar. Dua remaja berboncengan. Kemudian
diikuti satu lelaki yang sudah pantas disebut ‘ayah’ memboncengkan istri dan
seorang anak kecil lucu. Perlahan-lahan memasuki gerbang rumah temanku.
Aku hanya melongo ketika nama kamu muncul begitu saja di
otakku. Aku merasakan tubuhku kehilangan energi. Lemas. Kamu sudah berapa tahun
menghilang begitu saja? Iya, kamu. Aku hanya menelan satu rasa, pahit. Melihat
wajahmu kembali lagi adalah siksaan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Namun kau pula penawarnya.
Iya, kita bukan pelajar biru putih lagi. Kita tak akan
bertemu lagi ketika esok menjemput. Tak ada lagi pertemuan saat kita mengenakan
biru putih dengan tas berada di bahu. Aku rindu. Apa kau tak rindu kota yang
sempat menjadi kotamu? 3 tahun bersama Jogja. Saat ini, kerongkonganku
benar-benar tercekat melihatmu. Di depan mataku. Aku tak percaya, sungguh.
3 Agustus 2014,
Ketika kau beberapa jam
yang lalu pergi ke kotamu, entah kapan akan kembali lagi kesini ;)
Komentar
Posting Komentar