“Ayo keluar semuanya dari tenda. Semuanya
tanpa kecuali”
Tak selang satu detik,
tenda kami digoyang-goyangkan. Shita cepat-cepat membuka restleting tenda yang
tak lain adalah pintu tenda.
“Kenapa Fiq” Shita melongok
keluar.
“Ya pokoknya semua harus
keluar dari tenda. Hujan semakin deras. Secepatt mungkin keluar dari tenda”
Nada bicaranya yang
tergesa-gesa serta wajah panik yang tak bisa disembunyikan bak magnet bagiku.
Ditambah suaranya yang meninggi. Aku panik.
“Tahu sepatuku enggak?
Sepatuku kok gak ada ya?”
Devi disibukkan dengan
sepatunya yang menghilang. Ia membongkar semua isi tasnya. Sementara itu, Akma
mencari jas hujannya. Suasana tenda makin parah ketika tujuh penghuninya
disibukkan mencari benda masing-masing.
“Ya, gimana ini? Kita keluar
dari tenda sekarang?” Anisa bertanya padaku.
Suasana yang riuh serta
derasnya hujan membuatku berbicara lebih keras dari biasanya.
“Sangga perintis satu
tolong minta perhatiannya” Aku berbicara menahan kepanikanku sendiri. Hanya
terdengar nyaringnya derasnya hujan. Suasana dalam tenda hening.
“Tolong, sekarang semuanya
wajib pakai jaket. Bawa benda yang diperlukan saja. Iya hape wajib dibawa”
Aku yang ditunjuk sebagai
ketua sangga malah kebingungan sendiri. Kepanikan lebih mendominasi daripada
kejernihan tindakan.
Fiqy sedari tadi diluar
tenda. Menunggu tenda kami benar-benar kosong penghuni. Air hujan terus
membasahi mukanya. Kulihat air terus menetes melalui dagunya. Ia berulang kali
menyapukan tangan di mukanya. Bajunya kian basah. Terlebih lagi dia anak
pondok. Belum sempat mengganti sarungnya dengan celana panjang. Berantakan
bukan main isi tenda kami. Sepatu, tas, baju, dan bahan makanan bersatu padu.
Terselimuti terpal berwarna oranye milik saudaraku.
“Ibuk Ibuk Ibuk, aku pengen
pulang. Aku gak mau disini. Aku pengen pulang. Disini aku mau mati, huhuhu.
Berapa sih suhunya, aaaa aku tetap pengen pulang”
Tutu yang sedari tadi
meringkuk bersikeras untuk pulang ke rumahnya. Ia terus berganti-ganti posisi
tidurnya. Tentu saja aku yang disampingnya merasa kurang nyaman. Sedari tadi,
ia memang hobi berbicara sendiri, sejak seluruh anggota sangga putri
dievakuasi.
“Aaaa Tu mbok jangan gitu.
Nanti kalau kejadian gimana?”
Hawa semakin dingin ketika
Hana menggubris perkataan Tutu. Tidur meski mata belum benar-benar terpejam.
Berada diantara mereka membuat aku sedikit tenang. Aku memang tak sendiri
melawan bekunya malam ini.
“Aku juga kedinginan tu.
Selimutku ketinggalan di tenda”
Aku berbicara dengan bibir
gemeretak. Tentu saja jaket yang kupakai tak mampu menghangatkan seluruh
tubuhku.
Hujan benar-benar semakin
deras sehabis Isya tadi. Membuat suhu di daerah lembah menurun drastis. Namun,
aku bersyukur. Hujan yang mengguyur kali ini menjadi salah satu penyebab tak
adanya kegiatan Jerit Malam. Alhamdulillah J
Padahal, rencananya setiap sangga harus memasuki sebuah area pemakaman pada
malam hari untuk mencari jejak. Namun, membeku di ruang evakuasi yang terbuka
setimpal dengan ketakutan saat memasuki makam.
Komentar
Posting Komentar